Cerpen Reno Rahardja

Lelaki itu mungkin tak ingat lagi kapan tepatnya satu set DVD itu teronggok di kamarnya. Yang ia ingat adalah alasan utama kenapa perangkat elektronik itu sampai menghuni ruang sempit kamarnya. Padahal, ketika itu banyak kebutuhan lebih penting harus ia beli ketimbang hanya DVD. Semua perlengkapan penunjang masih dalam posisi persis ketika pertama kali barang itu tiba. Sepasang spiker aktif yang mengapit kotak musik buatan Cina itu, sebuah mikrofon berkabel panjang (karena memang sengaja disambung) dan beberapa keping compac disc bajakan dengan sampul-sampul bergambar buram. Agaknya semua sengaja ditata sedemikian rupa agar dapat menarik perhatian.

Menilik dari merek abal-abal yang terbaca, semua alat itu dipajang jelas bukan untuk tujuan memantas kamar agar terkesan mewah belaka. Ia hanya punya satu keinginan sederhana: menyanyikan barang satu atau dua bait lagu bersama istrinya. Ya, cuma itu! Sejak lelaki itu mengenal perempuan yang dinikahinya kini, ia belum pernah sekali pun mendengar istrinya beryanyi. Aneh, bukan? Untuk itulah, ia sengaja membeli pemutar musik itu demi sang istri. Ia ingin istrinya menyanyikan lagu untuknya. Namun, apa hendak dikata, hingga kini keinginan itu tak terwujud juga, dan akhirnya benda-benda itu teronggok sia-sia.


“Mestinya Mas beli TV aja dulu,” Protes istrinya ketika lelaki itu membawa pulang seperangkat alat itu ke rumah. Saat itu usia pernikahan mereka baru memasuki tahun pertama.

“Tapi ‘kan TV nggak bisa buat karaokean, Dik.”

“Ya nggak masalah. Lagian siapa juga yang mau karaokean, Mas!”

“Lho, ya kamu to, Dik. Habis siapa lagi? Mas kan nggak pinter nyanyi.”

“Harus bilang berapa kali lagi sama sampeyan, Mas, kalau aku ini nggak bisa nyanyi?”

“Justru itulah alasan kenapa Mas nekad beli barang ini, Dik. Semakin kamu bilang nggak bisa nyanyi, semakin Mas ingin mendengar kamu nyanyi! Sekaliii..., aja, Dik. Plis deh!”

“Moh, ah! nyanyi aja sendiri sono! Emangnya gue pikirin!”

]Begitulah. Sejak kabel mikrofon itu ia sambung, sejak koleksi piringan mengilat itu ia tata rapi, hingga malam ini pun istrinya tak juga kunjung mau bernyanyi. Selalu saja ada alasan masuk akal yang dibuatnya. Terkadang mendadak istrinya mengaku bibirnya sariawan. Di lain hari akan bilang sedang radang tenggorokan, atau terserang flu akut yang menyebabkan kedua hidungnya mampet. Lantas, dengan gaya megap-megap ia akan minta maaf atas kekecewaan suaminya.
Yang lebih gawat lagi, suatu hari ketika lelaki itu membawa pulang lagu You ‘re Beautiful-nya James Blunt, dan memaksa istrinya berkaraoke bersama, secara tak terduga istrinya malah terjangkit asma dadakan yang membuat laki-laki itu panik alang-kepalang. Sejak itulah ia tak pernah lagi memaksa istrinya untuk bernyanyi. Tak sekalipun.

Ia, lelaki tiga puluh tahun itu mendekati onggokan barang elektronik di pojok kamarnya. Mengusap pelan debu-debu lembut yang melapisi permukaan alat-alat itu, lantas jemarinya menyibak keping demi keping disk bajakan yang lama sekali tak disentuhnya. Malam itu entah kenapa tiba-tiba ia ingin sekali menyanyikan salah satu lagu milik Sheila On 7 kesukaannya. Diurainya gulungan kabel mikrofon panjang yang pernah disambungnya bertahun-tahun lalu, kemudian ia beringsut mundur ke tepi dinding. Menyandarkan tubuhnya, dan mulai bernyanyi. Sendiri.

“Ke mana kau s’lama ini, bidadari yang kunanti
Kenapa baru sekarang, kita dipertemukan
Sesal tak kan ada arti, kar’na semua t’lah terjadi
kini ku t’lah menjalani...,du du du du du..., sisa hidup dengannya...,”


Suaranya memang masih sama keruhnya seperti dulu. Tapi, bukan itu yang membuatnya tiba-tiba berhenti beryanyi di tengah-tengah lagu. Bukan juga karena salah mendendangkan satu baris lirik lagu itu. Ia sengaja mengubah satu kata pada baris lagu itu agar lebih pas dengan suasana hatinya.

Dengan hati-hati lelaki itu meletakkan kembali mikrofon yang ia genggam, lalu menyandarkan kepalanya ke dinding. Beberapa saat lamanya matanya memejam. Namun, buru-buru kembali membuka kelopak matanya saat menyadari pipinya basah oleh lelehan cairan hangat dari matanya. Malam itu ia mendadak begitu cengeng. Diusapnya rembes kecil itu sambil melirik wajah istrinya yang tertidur pulas di atas kasur. Ia tak ingin tertangkap basah menangis di samping istrinya. Syukurlah, perempuan itu masih lelap dalam pelukan rasa letihnya.

“Malam minggu kok ya tidur sore to, Dik,” tegur lelaki itu mengguncang-bangunkan tubuh istrinya. Si empunya tubuh hanya menggeliat. Memicing sesaat lalu kembali tenggelam dalam mimpinya. Rupanya kesibukan dapur membuatnya menyerah oleh kantuk yang menyergapnya. Lelaki itu hanya mengangkat bahunya, “Kapan..., kau akan bersedia nyanyi untukku,” gumamnya masygul.

Ia kembali berpaling menekuni kerlip led biru yang masih berputar-putar menyala di layar indikator DVD. “Dalam kesunyian yang monoton ini aku berharap waktu akan berputar ulang seperti lingkaran lampu itu..., Rin, sehingga kita bisa kembali lagi ke titik pertama di mana kita pernah bertemu. Dari sana mungkin kita bisa memulai lagi dari awal.” bisiknya pada diri sendiri. Ia tersenyum. Hanya sesaat. “Gila!” rutuknya menempeleng jidat berkali-kali demi menghukum kekonyolan otaknya. Ia kembali melirik istrinya dengan perasaan bersalah. Tidak! Ia tidak boleh memikirkan hal bodoh yang bakal menyakiti perasaan istrinya.

Lelaki itu menggeleng gelisah. Ia tahu malam ini tak akan dapat tidur sepulas perempuan di sisinya. Tapi sebenarnya ia ingin sekali tidur. Di alam tidur, ruang dan waktu tak akan bisa menghalanginya mengurai kembali masa lalu. Masa lalu yang siang tadi nyaris meruntuhkan sepotong jantungnya yang rapuh....
 *****

Lelaki itu tak pernah lari pagi sejauh lima belas kilo meter di hari Sabtu. Tapi, pagi tadi rasa jenuh mengayunkan kakinya hingga sejauh itu. Ia mengakhirinya di tepi alun-alun kota. Di pinggir taman ia duduk memesan semangkuk es campur. Bukan oleh rasa haus,  sebab jilatan matahari pukul sembilan pagi tak cukup mampu mengeringkan tenggorokannya. Ia mendekati gerobak es itu karena melihat gadis berkaos kuning duduk di situ. Ia merasa yakin sekali pernah bertemu gadis itu.

“Kamu, Rina, kan?” sapanya tanpa basa-basi mendekati bangku gadis itu. Ketika perempuan itu mendongakkan wajahnya, ia semakin terlonjak tak percaya. “Benar. Kamu Rina!” pekiknya menunjuk gadis itu.

Yang ditunjuk hanya menganga, “Yon?!” desisinya tak kalah girang sembari bangkit. Gadis itu hampir saja memeluk tubuh lelaki itu jika es campur di tangannya tak menghalanginya. Dengan agak gugup ia meletakkan mangkuk itu di atas bangku. Namun, tiba-tiba diurungkannya. Gadis itu mematung sesaat, lalu mengangkat wajah kembali  seperti menyadari sesuatu. Dipandangnya lama lelaki yang masih berdiri sumringah di depannya. Rahang gadis itu mendadak merapat aneh. Mata beningnya menajam dan....

“Pyak!” Semangkuk es campur di tangannya kini telah membasahi wajah lelaki itu. Ia kembali duduk dan tiba-tiba terisak tanpa memedulikan reaksi melongo wajah Yon yang baru saja dia siram itu.
“Rina? Kenapa kau...,” Yon tak melanjutkan pertanyaannya. Ia merasa pantas menerima perlakuan itu.

Sunyi. Keduanya memilih tenggelam dalam muara kebisuan masing-masing....
Tiga tahun lalu mereka pernah membangun janji. Memupuk imaji. Mengumbar kata setia sebagai pasangan kekasih yang hanya akan terpisah oleh maut. Cinta selalu pandai menciptakan sejuta kemungkinan, sehingga tanpa sadar mereka melupakan keputusan agung pemilik takdir.

“Kau mengkhianati cinta kita.” Gadis itu membuka suara.

“Kau yang mengkhianatinya, Rin, bukan aku.”

“Tidak. Kau lebih dulu mengkhianatiku,” bantah gadis itu. “Kau mencampakkanku demi perempuan gila itu. Kalian menghianatiku!”

Yon hendak balik membantah, tapi urung ia lakukan. Toh apapun alasan yang ia katakan tak akan mengubah kenyataan bahwa ia memang telah menikahi sahabat gadis bernama Rina itu. Yon mengenal Rina dari perempuan yang kini menjadi istrinya. Ia tak menyangka persahabatan dua perempuan itu akan berubah menjadi permusuhan yang saling mereka peram.

“Kecemburuan membuat hatimu tak bisa meraba, Rin. Saat itu kau benar-benar tak mau kuberi penjelasan,” ucapnya menerawang kejauhan. Pandangannya seolah ingin menjangkau kembali tiga tahun yang ia tinggalkan. Ia masih ingat betul ketika Rina begitu marah karena kesalahpahamannya.

Minggu malam kali itu adalah bagian tersulit yang pernah ia lalui. Mestinya Yon datang menemui Rina, tapi rasa tak tega mengantarkan langkahnya menuju rumah sakit jiwa. Saat itu perempuan yang kini menjadi istrinya tengah mengalami depresi berat karena ditinggalkan calon suaminya. Dulu, perempuan itu hampir menikah dengan kekasinya. Yon bahkan membantu menyebarkan kartu undangan mereka. Entah kenapa, tiga hari menjelang hari H, calon suaminya minggat bersama wanita lain. Dan itu pukulan berat bagi perempuan itu, juga membuat malu keluarga besarnya.

Yon tak pernah terpikir untuk menikah dengan sahabat kekasihnya. Mereka dekat sebagai sahabat jauh sebelum ia menjalin hubungan dengan Rina. Hanya saja, sejak jiwa perempuan itu terganggu Yon memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit bersama perempuan itu. Ia hanya ingin memupuk kembali harapan perempuan itu. Ia katakan bahwa perempuan tangguh sepertinya tak pantas menangis demi kepengecutan seorang laki-laki. Ia katakan juga bahwa suatu saat nanti Tuhan memberikan yang terbaik untuknya.

Yon bahagia karena perempuan itu mulai percaya dan berangsur sembuh dari depresinya. Sampai akhirnya Yon menyadari bahwa depresi perempuan itu tidak benar-benar menghilang. Depresi itu hanya berpindah posisi dari kepala perempuan itu ke kepalanya sendiri. Perempuan itu bilang lelaki terbaik yang mampu menggantikan kekasihnya itu hanyalah dirinya. Perempuan itu mengaku jatuh cinta pada dirinya.
Saat itu Yon tak ingin mengiyakannya, tapi juga tak mungkin sanggup menolaknya.  Mingkin karena tak tega akan kembali menyakiti hati perempauan yang baru sembuh dari luka. Entahlah....

Ya. Agaknya Yon harus menyadari semua memang bukan salah Rina. Harusnya ia lebih sering menghabiskan waktu bersamanya. Ia tak mengerti kenapa dulu selalu saja ada alasan untuknya datang ke rumah sakit itu. Awalnya ia memang selalu datang bersama Rina. Namun belakangan, setiap ia mengajaknya, setiap itu pula selalu timbul pertengkaran. Sejak itu ia pilih menemui perempuan itu diam-diam. Mengantarkan sekeranjang buah atau sekadar potongan kue, lantas pulang. Hanya itu. Apakah itu terlalu berlebihan? Mungkin tidak. Hanya saja ia tak pernah tahu sepasang mata diam-diam mengikutinya dengan tangis kecemburuan. Sampai suatu hari kabar menyakitkan itu ia dengar sendiri dari mulut Rina. Kekasihnya itu mengaku telah menemukan laki-laki yang lebih bisa mengerti dan memperhatikan dirinya.

“Saat itu kita begitu dikuasai pikiran kanak-kanak hingga dengan mudahnya segalanya menjadi rusak,” ujar Rina setelah lama terdiam dalam kecanggungan.

Yon hanya tersenyum getir. Meraba-raba wajanya yang terasa lengket oleh air gula. Kaos putih hadiah ulang tahun dari istrinya kini merah oleh pewarna es campur yang dituangkan Rina. Itu berarti ia harus mempersiapkan sebuah alasan kecil sebelum pulang ke rumah.
“Aku harus pergi sekarang. Ada janji yang harus kutepati,” kata gadis itu sambil bangkit perlahan dari bangku. Merapikan celana legging hitam tiga per empat yang dikenakannya.

“Tunggu, Rin! Apakah....,” cegah laki-laki itu. Ragu-ragu ia berdiri, “Apakah..., setelah hari ini kita masih akan bisa bertemu lagi?” Gadis itu urung beranjak. Tersungging kecil sambil mengedip dengan pandangan mata aneh yang memabukkan. Mata Yon mengikutinya hingga tikungan gang. Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang mengambang. Rina yang ia temukan pagi ini seperti sosok asing yang sama sekali berbeda dari yang pernah dikenalnya. Sepertinya ia bukan lagi Rina yang dulu.
*****

Kini lelaki itu selalu lari sejauh lima belas kilometer di hari Sabtu. Berbekal sebotol teh manis dan handuk kecil yang selalu disiapkan sang istri sebelumnya. Hingga pada Sabtu ketiga, sepulang ia dari alun-alun kota ia mendapati pemandangan lain di rumahnya. Ia mendengar suara seseorang sedang bernyanyi:
....
Kuyakin pasti suatu saat
Semua kan terjadi
Kau ‘kan mencintaiku Dan tak akan pernah..., melepasku
.....
 

Suara itu begitu dekat. Begitu lembut memikat. Ia tahu penyanyi lagu itu bukan perempuan. Tapi, yang kini sedang ia dengar adalah alunan lembut suara perempuan. Dengan rasa penasaran Yon bersijingkat membuka pintu kamarnya. Alangkah kagetnya ketika ia mengetahuai siapa yang melantunkannya. Istrinya! Ia nyaris tak percaya. Mengucek-ucek matanya berkali-kali memastikan itu bukanlah mimpi. Perempuan itu tengah menggenggam mikrofon. Bersandar di dinding di samping kasur seperti yang pernah ia lakukan. Istrinya tampak sangat mendalami lagu itu. Sesekali matanya terpejam penuh ekspresi, lalu menangis terbawa irama sendu.

“Dik, kamu nyanyi? Kamu bisa nyanyi, Dik?” takjub lelaki itu. Gegas ia dekati istrinya.

Istrinya tersenyum datar, “Aku tak kuasa menahannya lagi, Mas. Aku tak ingin mendengarmu tidur mengigaukan nama perempuan lain lagi,” isaknya perih. “Dulu, aku berjanji hanya akan menyanyi hanya setelah kudengar ungkapan cinta untukku dari mulutmu. Tapi sekarang aku bernyannyi sebelum kata itu kaubisikkan ke telingaku.”

Yon tertegun dengan dada menyesak. Tiga tahun. Tiga tahun ia biarkan istrinya menunggu ucapan cinta dari mulutnya, tapi ia justru tertangkap basah mengigaukan nama lain dalam tidurnya. Betapa hina dirimu, Yon! Alangkah tololnya kamu, Yon, rutuknya.
Dengan gemetar Yon memberanikan diri menggenggam tangan istrinya erat, seakan tak akan pernah lagi melepasnya. Ia mulai ikut bernyanyi.

“Aku mau mendampingi dirimu
Aku mau cintai kekuranganmu
Slalu bersedia bahagiakanmu
Apapun terjadi, kujanjikan aku ada”


Mereka terus bernyanyi bersama. Mereka menangis bersama. Mereka menyanyi sambil menangis bersama. Suaranya begitu jernih. Sejernih bulir-bulir embun yang mengalir di pipi mereka.
*****

0 comments Blogger 0 Facebook

Post a Comment

 
Sanggar Penggalih © 2013. All Rights Reserved. Powered by Han Artwork
Top