Oleh Reno Rahardja

“Bahasa menunjukan bangsa”. Jika kutipan pepatah tua melayu tersebut saya tanyakan kepada Anda, saya yakin sekali Anda pernah, bahkan sering mendengar ungkapan “sakral” tersebut. Entah siapa sesungguhnya orang yang pertama kali mengatakannya, namun yang pasti kalimat di atas hingga kini masih senantiasa berdenging-denging di telinga kita. Dari pidato-pidato para pejabat, nasionalis, aparat, hingga sekadar percakapan ringan para rakyat jelata (seperti penulis artikel ini tentunya).

Dalam KBBI, bangsa memiliki definisi pengertian sebagai berikut: (1) kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuhan yang memiliki asal-usul dan sifat khas yang sama. Maka dari itu, adalah lazim ketika kita mendengar sebutan: bangsa jin, bangsa lelembut, bangsa unggas, bangsa priyayi, bangsa begajul dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kata “bangsa”  dalam hal ini memiliki arti lebih luas dan kontekstual.

Akan tetapi, meskipun definisi kata “bangsa” tersebut di atas tidak semata-mata mengacu pada pengertian sempit, seperti bangsa Indonesia, misalnya. Atau bangsa Malaysia, bangsa India, bangsa Jerman dan lain-lain, tetapi kali ini saya akan meletakkan kata “bangsa” pada nukilan pepatah tersebut dalam arti lebih sempit saja. Bangsa di sini akan saya pinjam untuk mewakili Indonesia (negara kita tercinta ini). Kenapa? Ya, karena kali ini saya hendak sedikit membahas tentang eksistensi bahasa Indonesia di mata kita sebagai orang Indonesia itu sendiri.

Ketika akhirnya saya (nekad) memutuskan untuk menulis artikel abal-abal ini, sebelumnya dalam diri saya sempat terjadi semacam baku debat yang tidak jelas alasannya. Bagian diri saya yang lain mencegah dengan alasan bahwa saya bukanlah seorang yang ahli, gramatika, linguistik, atau apa pun istilahnya. Bukan pula sesorang yang bekerja di lembaga pusat Bahasa, yang konon telah berubah nama menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, atau Badan Bahasa. (saya sadar sesadar-sadarnya bahwa tugas beliau-beliaulah sebagai pembina, pemelihara dan pelestari bahasa Indonesia. Lagi pula orang yang hendak saya kritik kali ini pun jelas-jelas seratus delapan puluh derajat lebih baik dan lebih mumpuni daripada saya. Apa mau dikata?

Tapi, nyatanya perkelahian aneh pada diri saya itu tidak berhenti sampai di situ. Ada sosok lain yang tiba-tiba muncul dalam diri saya dan serta-merta bertanya dengan sinis kepada saya: “Bukankah kamu juga orang Indonesia, Bro?” Tentu saja saya orang Indonesia, kataku. “Nah, apa Lagi?”

Dari situlah saya meyakinkan diri betapa kesalahan itu seharusnya memang tidak boleh dibiarkan. Maka, dengan sedikit malu-malu akhirnya jadilah tulisan tidak bermutu yang Anda baca sekarang ini. Sebenarnya saya hanya ingin mengatakan satu hal saja. Dan sangat “remeh”. Beberapa waktu lalu, entah untuk yang keberapa kalinya saya melihat tayangan forum diskusi pada salah sebuah televisi yang sedang membahas ihwal keadaan negeri belakangan ini. Dari sekian banyak orang yang ada di sana hampir semua menekankan arti sebuah perubahan bagi negeri. Agaknya tema kali itu adalah sebuah kekecewaan pada perubahan ke arah lebih baik yang pernah dijanjikan oleh pemerintah. Itu bisa saya lihat dari bagian isi pembicaraan yang saya dengarkan. Kira-kira intinya begini: “Siapa lagi yang akan merubah keadaan negeri ini....”

Akhirnya, perhatian saya tidak lagi tertuju pada isi pembicaraan para pakar tersebut, melainkan sepenggal kata “merubah” yang baru saja saya dengarkan. Dalam hati saya berujar, ternyata sederet gelar di belakang nama mereka tidak menjamin bawa mereka fasih berbahasa Indonesia secara baik dan benar, meskipun pada kenyataannya para beliau itu berkecimpung dalam ranah ke-Indonesiaan. Pertanyaannya, ini salah siapa? Barangkali ada yang berpendapat hal itu bukanlah hal penting yang layak untuk dirisaukan. Toh, sama sekali tidak memengaruhi inti dari sebuah komunikasi. Benar, jika demikian alasannya. Akan tetapi, apalah arti pepatah luhur yang sudah saya sebutkan pada awal tulisan saya sebelumnya?

Kita semua tahu maksud kata “merubah” tersebut maksudnya adalah “mengubah”, karena berasal dari kata “ubah”. Tetapi, hampir setiap hari kita mendengar orang mengucapkannya dengan kata “merubah”, padahal kata merubah tidak cocok untuk konteks kalimat di atas. Lain hal dengan lagu berjudul “Rubah” milik Bang Iwan Fals:

“Zaman berubah perilaku tak berubah
Orang berubah tingkah laku tak berubah.
Wajah berubah kok menjadi lebih susah
Manusia berubah
berubah – rubah

Pada baris terakir tersebut tentu saja Bang Iwan ingin mengatakan bahwa manusia berubah menjadi Rubah (binatang karnvora sejenis anjing yang bermoncong panjang). Prilakunya seperti binatang rubah. Bukan “Berubah-rubah” seperti yang selama ini sering salah dipahami. “Berubah” dari kata dasar “ubah”, maka jika diulang akan menjadi berubah-ubah. Jika diberi imbuhan awalan “me” maka menjadi “mengubah” bukan “merubah”. Begitupun bila diberi awalan “di” akan menjadi “diubah” bukan “dirubah”.

Lagi-lagi, bahasa menunjukkan bangsa. Dengan kata lain, kalau boleh saya tafsirkan, sebaik apa bangsa dimaksud, bisa diukur dari sebaik apa pula bahasa yang dipakai oleh suatu bangsa itu sendiri. “Baik” dalam hal ini tidak hanya ditinjau dari sisi normatif dalam penyampaian belaka, namun semestinya mencakup sejauh mana kadar penghargaan kita terhadap keberadaan bahasa itu sendiri. Jika menghargai bahasa sendiri saja sudah dianggap sebuah ketidakpentingan, bagaimana kita bisa menghargai eksistensi sebuah bangsa?

Hal yang saya sampaikan di atas hanyalah segelintir contoh yang bisa kita temui setiap saat di mana pun kita berada. Di perkantoran-perkantoran, di kampus-kampus, bahkan elemen-elemen pemerintah yang nyata-nyata digaji besar demi tegaknya sebuah bangsa. Lantas ini tanggung jawab siapa? Sampai pada tahap pertanyaan seperti ini, tiba-tiba saya bersyukur memilih profesi menjadi penulis. Meskipun kenyataannya susahnya setengah mati, namun menulis adalah pekerjaan mulia. Jika ada seseorang yang sangat detil dalam memperlakukan bahasa, maka penulislah orangnya. Penulis selalu memerhatikan setiap detil huruf, kata, bahkan bagaimana menempatkan tanda baca.

Penulis memang tidak semudah artis untuk bisa menjadi kaya, tetapi saya pikir memutuskan untuk menjadi penulis merupakan sebuah gagasan yang mulia. Bayak orang yang hanya cuap-cuap di You-Tube, melenggak-lenggokkan tubuh, atau sekadar komat-kamit di depan handycam-nya, di-upload ke internet, lantas tiba-tiba menjadi terkenal dan kaya. Tetapi, tidak bagi Penulis. Penulis harus benar-benar memeras segala tenaga dan pikirannya demi sebuah gagasan yang layak dan berguna. Lantas, apakah dalam kasus kerusakan bahasa kita, penulislah yang mesti memperbaikinya? Entahlah. Bisa jadi jawabannya, Ya. Tapi, Indonesia, Bung, bangsa di mana sebagian besar para orang tua lebih membiarkan anaknya menghabiskan uangnya untuk main game di warnet daripada menghimbau mereka untuk menabung demi sebuah buku.

0 comments Blogger 0 Facebook

Post a Comment

 
Sanggar Penggalih © 2013. All Rights Reserved. Powered by Han Artwork
Top