(Peraih Juara III LCC 2011, FLP C)

Reno Rahardja

Kini Yasashi tak mau lagi mengenakan yukata-yukata[1] lucu miliknya. Ia lebih senang memakai gaun minim yang simpel. Dia bilang, zaman telah berubah dan ia sudah cukup dewasa untuk menentukan sendiri jenis pakain yang cocok untuknya. Satu-satunya penanda paling mudah dikenali bahwa dia memang permpuan berdarah Jepang barangkali hanya ketika ia tengah menulis dengan aksara-aksara kanji saja. Matanya bulat seperti mataku. Rambutnya sedikit berombak, dan kulitnya lebih gelap daripada gadis jepang kebanyakan.
Kurasa akhir April musim ini tak hanya akan menggugurkan kelopak-kelopak indah bunga sakura di setiap sudut kota, namun juga meruntuhkan rekah harapan yang selama belasan tahun terakhir kupupuk sepanjang musim di bawah langit teduh Niigata. Serupa musim yang bergulir pergi, gadis kecilku itupun beranjak pergi tanpa pernah meninggalkan janji untuk kembali suatu kali nanti. Ia bukan lagi Yasashi kecil Si penurut yang suka bermanja-manja padaku. barangkali tak lama lagi aku benar-benar akan kehilangan rengek lucunya.
Yasashi memang tumbuh secantik bunga sakura. Tetapi, ia jelas bukanlah bunga sakura yang  yang mempunyai siklus kemunculan yang tetap dan sama pada setiap musimnya. Ia juga bukan boneka kokeshi yang tak bisa tumbuh dan berkembang. Ia gadis pintar yang tahun depan bahkan telah cukup umur untuk merayakan Seijin no hi[2]-nya. Aku tahu ia tak akan pernah menjadi kanak-kanak lagi. Dan itu berarti semua orang harus mengakui bahwa dia telah tumbuh menjadi gadis Jepang dewasa. Gadis seijin. Itu berarti pula, ia telah memiliki hak menentukan sendiri pilihan-pilihan hidupnya.
“Bukankah menjadi dewasa itu sebuah keharusan, Aryani?” Yamato menatapku tak mengerti. “itu artinya dia tak akan lagi merengek-rengek minta dibelikan sepotong takoyaki[3] setiap kali kau hendak pergi,” lanjutnya terkekeh.
“Itu benar, Yamato, tapi menjadi dewasa terkadang lebih mengerikan daripada yang kita bayangkan,” jawabku. “Kau tahu, ia tak suka lagi mengenakan yukata-yukata yang kujahit untuknya,” lanjutku.
“Apakah itu buruk, Aryani? Toh, kau bisa menggantinya dengan menjahit gaun yang lebih modern, bukan?” Yamato menatapku aneh. “Anak-anak Jepang lain seusianya banyak juga yang tak lagi mengenal yukata.”
Yamato benar. Aku sering mengunjungi pusat kota Niigata. Sesekali bahkan ke Tokyo, Kyoto, dan kota-kota besar lainnya di pulau Honshu. Dan yang kusaksikan di mana-mana hanyalah kengerian gaya hidup modern hampir semua kaum perempuan. Kaumku. Gadis-gadis muda dengan tank top atau bikini ketat, dan celana pendek tipis yang sama sekali tak sempurna menutupi kedua paha mereka. Perempuan-perempuan muda itu justru seperti bangga memamerkan lipatan selangkangannya. Aku tak ingin Yasashiku tumbuh seperti itu. Aku ingin Yasashi menjadi gadis Jepang berdarah Indonesia yang istimewa.
Andai saja ini di Indonesia barangkali akan lain ceritanya.
Kami memang keluarga muslim. Yamato menjadi mualaf setelah menikahiku. Tapi, di negara Jepang agama bahkan tak tercantum dalam kartu tanda identitas seseorang. Sebagian orang Jepang bahkan memandang agama sebagai tradisi budaya belaka. Sebagian lainnya menganggap agama adalah hal yang tidak begitu penting[4]. Maka, jangan heran jika ada yang mengaku beragama Budha, namun tak mengerti apa itu Tripitaka. Banyak yang mengaku beragama Shinto tapi tak memiliki kitab suci. Dan aku tak bisa berbuat banyak untuk mengajari  Yamato, juga Yasashiku.
“Apakah kelak aku benar-benar akan kehilangan dia, Yamato?”
“Hey..., apa yang kau katakan, Aryani? Aku sama sekali tak mengerti apa maksudmu,” bisik Yamato meraih tanganku. Mendekatkannya ke dadanya. “Itu tidak mungkin, sayang,” ujarnya mengecup tanganku. “kau sangat pandai mendidiknya. Kau tak punya alasan untuk secemas itu.”
“Andai saja ini di Indonesia aku tak harus sebingung ini menjelaskannya, Yamato.”
Yamato tak menjawab. Ia hanya memelukku erat seolah sebagai tanda permintaan maaf. Ia memang pernah beberapa kali berjanji padaku untuk tinggal di Indonesia, namun sampai detik ini janji itu belum juga terealisasi. Sudah hampir sembilan belas tahun berlalu sejak aku pergi, tapi aku belum juga mempunyai kesempatan melihat langsung seperti apa keadaan negeriku saat ini. Dan hanya lewat Yasashi aku selalu mampu membunuh kerinduanku pada tanah lahirku itu. Yasashi dan yukata-yukata merah mudanya. Yasashi dan barisan huruf-huruf kanjinya. Semua itu selalu mengingatkanku pada setelan-setelan kebaya dan kain batik yang dulu selalu diberikan mendiang Ibu untukku. Juga mengingatkanku pada aksara-aksara Jawa yang selalu diajarkan Bapak padaku setiap malam usai mengaji. Kata Bapak, sebagai orang muslim Jawa sejati selain pandai menulis huruf hijaiyah, kita juga harus bisa menulis dengan aksara Jawa. Bapakku orang Jawa asli. Orang Jogja. Tapi sayang, ia pun telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku tak punya siapa-siapa lagi kecuali seorang kakak kandung di Jawa, Yamato dan Yasashi. Yasashiku yang semakin hari semakin menghilang.
“Jika saja kedua orang tuaku masih ada tentu aku tak akan berhenti menagih janjimu untuk tinggal kembali di Indonesia,” gumamku. “Yasashi pasti akan menyukainya.”
“Setidaknya kita masih selalu mengikuti kabar negerimu lewat majalah dan televisi, kan?” ujar Yamato dengan ekspresi senyum yang sulit kumengerti. Kusimpulkan itu sebuah raut cemoohan meskipuin dengan nada bercanda. Senyum itu seolah ingin mengatakan bahwa negeriku pun tak lebih baik dari negerinya.
“Kau salah, Yamato, yang selalu muncul di tv sama sekali tidak mewakili Indonesia seluruhnya. Itu hanya segelintir manusia. Indonesia yang kukenal dulu tidaklah seperti yang kau lihat itu,” ralatku.
“Tapi zaman terus bergerak maju, Aryani. Dan sembilan belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk menafikan perubahan negerimu.”
“Tidak dengan kebudayaan negeriku, Yamato. Kami adalah orang-orang yang setia berpijak pada norma agama dan akar budaya,” sergahku dengan nada tak terima.
“Baiklah..., maafkan aku, Aryani. Aku percaya sepenuhnya padamu,” ujar Yamato merasa bersalah. “aku telah melihat sendiri bagaimana kau mendidik Yasashi kita. Kau tahu, aku sangat beruntung bisa memilikimu.”
“Aku hanya takut Yasashi akan tumbuh seperti gadis-gadis masa kini pada umumnya,” ungkapku jujur. “Aku selalu berharap Yasashi tumbuh menjadi perempuan anggun yang penuh sikap santun. Dengan begitu semua orang akan menghargainya.”
“Bukankah selama ini kita telah mendidiknya seperti itu?”
“Tapi lingkungan akan selalu mempunyai pengaruh yang kuat, Yamato.”
Yamato menaikan kedua alisnya, “Ya, ya. Aku bisa mengerti maksudmu. Lalu, menurutmu kita harus bagaimana?”
“Entahlah, aku tak begitu yakin dengan apa yang ada di kepalaku,” jawabku ragu. “bagaimana dengan Indonesia, Yamato? Kupikir liburan musim gugur tahun ini adalah waktu yang tepat untuk mengunjunginya. Aku ingin Yasashi melihat sendiri negeri asal ibunya.”
Yamato hanya mengangguk-angguk kecil. Tapi itu sudah cukup membuatku berbunga-bunga. tak lama lagi aku akan pulang ke Indonesia. Ke Jogja. Kota kecil dengan segudang gelar dan budaya. Di sanalah tigapuluh sembilan tahun silam aku lahir dan dibesarkan dengan kesederhanaan hidup, namun sarat dengan cinta.
۞ ۞
Malam ini aku mesti bisa meyakinkan hati Yasashi. Aku tak tahu harus memulai cerita dari mana. Mungkin sebaiknya kuceritakan saja tentang candi-candi menjulang tegak yang bertebaran memaku bumi Indonesiaku, atau mungkin tentang aksara-aksara carakan Jawa yang tak kalah hebat dengan deretan huruf kanji itu, atau bisa juga tentang lembaran kain batik yang begitu rumit cara pembuatannya.  Entahlah, kupikir itu sesuatu yang menarik untuk dikisahkan. Atau..., lebih baik kumulai saja dari kisah gadis-gadis manis berbaju gamis atau kebaya yang menghidupkan surau dengan lantunan-lantunan lembut Al Quran dari mulutnya. Ya, setidaknya itu akan bisa membantunnya mencintai kembali yukata yang selama ini membantu menutupi sebagian besar auratnya.
“Seorang pelancong dari negeri jauh pada masa lalu pernah bilang, negeri Ibu adalah pecahan tanah surga,” aku mulai bercerita. Kubuat mimik sebaik mungkin agar Yasashi tak sebentarpun berpaling dari wajahku. “Konon, karena suburnya tanah di negeri Ibu, tongkat kayu dan batu bisa tumbuh menjadi rimbun perdu,” lanjutku.
Yasashi melebarkan mata bulatnya, “Benarkah begitu, ibu?”
Aku tersenyum penuh kemenangan. “Tentu,” jawabku. “Kau tak ‘kan bisa percaya sampai kau melihatnya sendiri, Nak. Gugusan pulau yang dihuni kelompok-kelompok suku yang berlainan adat atau agama, bahasa dan warna kulit yang juga berbeda-beda, aksara-aksara yang memiliki ragam bentuk dan ciri sendiri-sendiri. Semuanya berbeda, namun..., kau tahu, kami tetap disebut sama: ‘In-do-ne-sia’.”
“Ah, Ibu..., kau membuatku makin tak sabar untuk melihat langsung tanah kelahiranmu,” rajuk Yasashi manja.
Aku sangat bahagia melihat semangat putriku itu. Aku yakin ini akan lebih memperbaiki keadaan. Segera kusambut ia dengan pelukan cinta, “Kau akan segera melihatnya, Yasashi, Papa sudah menyiapkan paspor dan tiket untuk kita bertiga,” jawabku lega.
۞ ۞
Akhirnya kuhirup kembali udara tanah tumpak darahku. Desa kecil di sudut barat kota Jogja. Mestinya aku sangat bahagia. Tapi, entah kenapa seperti ada sesuatu yang hilang dariku. Rumah mendiang orang tuaku tak lagi berbentuk joglo sederhana. Rupanya kakakku lebih suka rumah mewah gaya spanyolan. Biarlah, toh ia mampu melakukannya. Kakakku seorang Camat. Jabatan yang cukup menghasilkan uang, kukira. Sesungguhnya bukan itu yang membuatku merasa asing dan tak nyaman tinggal di rumahnya. Yasashi. Ya, sejak sepulang dari Malioboro seminggu lalu, tiba-tiba ia berubah menjadi pendiam. Mukanya selalu masam, dan ia tak mau berlama-lama berbincang denganku.
Lama kuperhatikan Yasashi yang berdiri bersandar memunggungiku di bibir balkon. Ia tampak tengah berbincang dengan Afrian, anak bungsu kakakku. Umurnya dua tahun lebih muda dari yasashi meski terlihat lebih tua. Entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin asyik membahas kepulan asap tipis yang tak pernah berhenti menyembul dari pucuk Merapi di kejauhan. Mungkin sekadar memperhatikan reranggas pohon jati yang tampak kepayahan menghadapi kekeringan, atau barisan bukit kapur yang terlihat bopeng dipenuhi lubang bekas galian. Daerah sekitar tempat ini terlihat  memprihatinkan. Beberapa orang terlihat bermewah-mewah dengan kekayaannya, beberapa lagi terlihat sangat menderita. Entah bagaimana cara kakakku mengurus masyarakatnya.
“Pemandangan yang indah, kan?” kataku berbasa-basi mendekatinya.
Yasashi menoleh sesaat ke arahku, “Ternyata Ibu pembohong yang lihai,” todongnya dengan suara datar.
“Apa maksudmu, Nak?”
“Ibu pandai mengarang cerita tentang Indonesia, ya?”
“Yasashi?”
“Mana gadis-gadis bergamis yang selalu Ibu ceritakan itu, Bu? Mana surau-surau kecil yang kata Ibu selalu ramai dengan lantunan suara orang mengaji. Mana aksara-aksara carakan Jawa yang kata Ibu tak kalah hebat dengan huruf kanji itu?” Yasashi memberondongku.
“Hey, kau masih ingat Malioboro tidak?”
“Ya, apa bagusnya? Batik-batik berjajar yang nyatanya lebih disukai turis-turis ketimbang penduduk aslinya. Aku hanya melihat segelintir orang yang mengenakannya untuk satu kesempatan saja. Dan tentang aksara yang terpajang di setiap tikungan jalan itu, Afrian bahkan tak mampu menuliskannya untukku. Bukan begitu, Afrian?” Yasashi menepuk bahu Afrian. Bocah berkacamata tebal itu hanya mengangguk tersipu.
Aku tak menyangka Yasashi akan sekecewa itu.
“Untuk apa semua  dipajang dan dituliskan jika tak ada yang bisa memanfaatkannya,” lanjut Yasashi seolah menghakimiku. “kupikir itu sesuatu yang sia-sia dan tak berguana.
“Kau belum melihat seutuhnya, anakku.”
“Afrian lebih tahu, Ibu.” Yusashi kembali menoleh Afrian, “ceritakan pada Ibu tentang tawuran yang membuatmu kini disegani di sekolahmu itu, Afrian!”
“Semua tak seperti sembilan belas tahun lalu, Tante, zaman semakin modern dan maju.” Afrian membuka suara. Senyumnya lebih terlihat seperti seringai.
Aku tak suka melihat rambut Afrian yang dicat kuning dan kupingnya yang dipenuhi anting-anting itu. Dan itu? Duh, gambar apa pula yang melingkar di kulit lengannya itu.
“Surau hanya cocok untuk kaum manula saja, Tante. Anak-anak tentu lebih memilih nangkring di mal atau di warnet daripada pergi mengaji. Di sini, meski kampung tapi gaya hidup kami cukup modern,” celoteh Afrian semakin bangga. “Tante lihatkan, gadis-gadis kampung sini yang tak kalah seksi dengan yang sering terlihat modis di tv?”
Aku tak kuasa lagi mendengar ocehan Afrian. Hatiku sesak oleh sesuatu yang tak bisa kumengerti. Betapa naifnya aku selama ini. Aku dan mungkin juga banyak orang-orang sepertiku lainnya agaknya yang harus berpikir ulang untuk mengikuti arus zaman. Tapi, tidak. Tidak seharusnya demikian.
“Aku tak mau tinggal di Indonesia, Bu. Bagiku sama saja. Di Jepang beberapa hal bahkan lebih disiplin dan tertata.”
“Tidak, anakku..., tidak. Kau hanya perlu waktu untuk mengenal Indonesia sepenuhnya. Akan kutunjukkan engkau ke suatu tempat indah yang tersembunyi.”
“Masih adakah di sini tempat seperti itu, Ibu?”
“Tentu, Nak, tentu akan kutunjukkan padamu.” Jawabku meyakinkan.
Aku masih percaya dengan Indonesiaku yang kaya dan luas. Indonesiaku yang bernas. Indonesia yang memiliki ciri budaya, norma dan tradisi yang agung dan khas. Aku yakin, entah di bawah langit sisi mana, kelak akan kutemukan tempat seperti yang diinginkan Yusashi. Tempat indah seperti yang kunikmati sembilan belas tahun lalu. Sembilan belas tahun yang kini hilang entah ke mana.
 ۞End ۞












[1] Yukata: pakaian khas Jepang yang mirip Kimono namun terbuat dari bahan yang lebih tipis dan lembut. Dikenakan dalam acara non formal, terutama pada musim panas.
[2] Seijin no hi:  Hari menjadi dewasa.  Perayaannya sering disebut juga seijinsiki. Dirayakan  pada hari senin kedua bulan Januari saat seorang anak Jepang menginjak umur 20 tahunan.
[3] Takoyaki: Cemilan khas Jepang berbentuk bulat seperti bakso berisi daging gurita cincang.
[4]  Wiston Davis, 1992: “Japan Religion and Society Paradigms of Structure and Chage.”

2 comments Blogger 2 Facebook

  1. Wahh keren Mas, bisa bikin cerpen berbau jepang.. Miris banget ya liat Indonesia sekarang ini, sangat jauh berbeda dengan 19 tahun yang lalu...
    Kapan-kapan mampir ke blogku ya.. http://ernybinsa.blogspot.com/

    ReplyDelete
  2. Thanks atas Apresiasi dan kehadirannya, Erny....
    Salalmm

    ReplyDelete

 
Sanggar Penggalih © 2013. All Rights Reserved. Powered by Han Artwork
Top